Dalam satu sesi belajar, santri bertanya pendapat saya tentang Corona.
Saya sampaikan, bahwa Corona setipe dengan batu kecil yang membuat kita
terpeleset, lalu meninggal dunia.
Santri itu bingung. Saya melanjutkan.
Batu kecil yang menjadi sebab kita terpeleset, sesungguhnya tidak mampu membuat kita terpeleset. Namun jika Allah menghendaki, dengan sebab itu pula kita bisa meninggal dunia.
Begitu pula Corona. Apa yang bisa ditimbulkannya jika Allah tidak menghendaki? Bahkan api pun tidak dapat membakar tubuh Nabi Ibrahim as kala Allah memerintahkannya agar tidak panas bagi Rasul-Nya itu.
Tatkala Corona mewabah, ia sama saja seperti hal-hal itu.
Bukankah sesuatu dapat terjadi jika Allah menghendaki? Bukankah semuanya terjadi dalam ilmu Allah? Atas taqdirnya pula?
Kita telah menghadapi hal yang serupa pada 2004 lalu. Saat Allah menghendaki air laut yang tenang tiba-tiba tumpah ke daratan. Apa yang bisa dilakukan laut, makhluk Allah yang biasanya jinak, tempat kita biasanya memancing, berenang, bermain di tepinya itu tanpa izin Allah? Tidak ada.
Corona itu hanya sebab. Sama seperti batu yang membuat orang terpeleset. Di baliknya ada takdir Allah yang telah tertulis di lauhul mahfudz jauh sebelum Allah menjadikan makhluknya.
Apa yang harus dilakukan? Jika ada lubang di jalan, maka kita perlu menghindar. Bila ada batu yang berpotensi membuat kaki kita terpeleset, maka berusaha agar tidak memijaknya. Kita berikhtiar seperti anjuran Nabi: tidak mendatangi area sumber wabah. Juga mengikuti anjuran dokter: mencuci tangan dengan sabun, tidak kontak langsung dengan penderita corona, menghindari keramaian, segera ke dokter bila mengalami gejala corona.
Namun jika telah berikhtiar tetap juga terpeleset dan meninggal dunia?
Jika tiba jatah kita untuk melanjutkan perjalanan, ke alam berikutnya, Allah tidak akan menundanya meski hanya sesaat pun. Kita tahu itu.
Bagaimana jika belum waktunya? Minum racun pun tidak akan mati. Tidak sedikit kasus bunuh diri yang gagal. Bukan karena usahanya tidak maksimal. Tetapi memang belum jatahnya untuk mati.
Demikian juga dengan corona. Di antara pasien positif kena corona, sebagian besarnya sembuh. Sebagian kecilnya meninggal dunia. Tidak semua orang terpeleset meninggal dunia kan?
Sebelum muncul kasus corona, ada juga yang kena flu burung, kolera, ebola dan lainnya.
Dalam rilis infografis the History of Pandemics yang dikeluarkan visualcapitalist.com, Black Death adalah virus yang paling mematikan yang tercatat ilmuwan saat ini. Ia menjadi sebab meninggalnya 200 juta jiwa pada rentang tahun 1347-1351 M. Hal itu pun telah tertulis dengan rapi di lauhul mahfudz sebelum Allah menjadikan semesta. Bahwa pada saat itu, Allah menyibukkan Izrail dengan list 200 juta ruh makhluknya yang harus dicabut.
Yang kita harus yakin, corona hanya menyasar orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah. Boleh jadi kita termasuk di antaranya. Boleh jadi juga tidak.
Tapi mau karena Corona ataupun bukan, bukankah kita tetap harus bersiap untuk mati kapan saja?
Masih mending corona, Allah beri kesempatan pelaku maksiat untuk bertaubat. Saat tsunami 2004 lalu? Lagi duduk-duduk, tiba-tiba digulung gelombang. Alangkah beruntung mukmin yang rajin bertaubat meninggal dalam keadaan tanpa dosa saat itu. Semoga Allah wafatkan kita dalam kondisi demikian juga.
Soal hidup, mati, sehat, sakit, tidak ada yang bisa membuatnya hadir dan pergi tanpa izin Allah. Pun demikian pula dengan corona.
Saya memintanya untuk mengulang dalil dari sifat Qudrat. Dia menyebutkan QS Al Baqarah ayat 20:
إن الله على كلى شيئ قدير
Saya lantas balik bertanya padanya, “Kamu takut kena corona?”
Santri itu menggelengkan kepalanya.
Semoga kita senantiasa dalam perlindungan Allah swt.
Santri itu bingung. Saya melanjutkan.
Batu kecil yang menjadi sebab kita terpeleset, sesungguhnya tidak mampu membuat kita terpeleset. Namun jika Allah menghendaki, dengan sebab itu pula kita bisa meninggal dunia.
Begitu pula Corona. Apa yang bisa ditimbulkannya jika Allah tidak menghendaki? Bahkan api pun tidak dapat membakar tubuh Nabi Ibrahim as kala Allah memerintahkannya agar tidak panas bagi Rasul-Nya itu.
Tatkala Corona mewabah, ia sama saja seperti hal-hal itu.
Bukankah sesuatu dapat terjadi jika Allah menghendaki? Bukankah semuanya terjadi dalam ilmu Allah? Atas taqdirnya pula?
Kita telah menghadapi hal yang serupa pada 2004 lalu. Saat Allah menghendaki air laut yang tenang tiba-tiba tumpah ke daratan. Apa yang bisa dilakukan laut, makhluk Allah yang biasanya jinak, tempat kita biasanya memancing, berenang, bermain di tepinya itu tanpa izin Allah? Tidak ada.
Corona itu hanya sebab. Sama seperti batu yang membuat orang terpeleset. Di baliknya ada takdir Allah yang telah tertulis di lauhul mahfudz jauh sebelum Allah menjadikan makhluknya.
Apa yang harus dilakukan? Jika ada lubang di jalan, maka kita perlu menghindar. Bila ada batu yang berpotensi membuat kaki kita terpeleset, maka berusaha agar tidak memijaknya. Kita berikhtiar seperti anjuran Nabi: tidak mendatangi area sumber wabah. Juga mengikuti anjuran dokter: mencuci tangan dengan sabun, tidak kontak langsung dengan penderita corona, menghindari keramaian, segera ke dokter bila mengalami gejala corona.
Namun jika telah berikhtiar tetap juga terpeleset dan meninggal dunia?
Jika tiba jatah kita untuk melanjutkan perjalanan, ke alam berikutnya, Allah tidak akan menundanya meski hanya sesaat pun. Kita tahu itu.
Bagaimana jika belum waktunya? Minum racun pun tidak akan mati. Tidak sedikit kasus bunuh diri yang gagal. Bukan karena usahanya tidak maksimal. Tetapi memang belum jatahnya untuk mati.
Demikian juga dengan corona. Di antara pasien positif kena corona, sebagian besarnya sembuh. Sebagian kecilnya meninggal dunia. Tidak semua orang terpeleset meninggal dunia kan?
Sebelum muncul kasus corona, ada juga yang kena flu burung, kolera, ebola dan lainnya.
Dalam rilis infografis the History of Pandemics yang dikeluarkan visualcapitalist.com, Black Death adalah virus yang paling mematikan yang tercatat ilmuwan saat ini. Ia menjadi sebab meninggalnya 200 juta jiwa pada rentang tahun 1347-1351 M. Hal itu pun telah tertulis dengan rapi di lauhul mahfudz sebelum Allah menjadikan semesta. Bahwa pada saat itu, Allah menyibukkan Izrail dengan list 200 juta ruh makhluknya yang harus dicabut.
Yang kita harus yakin, corona hanya menyasar orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah. Boleh jadi kita termasuk di antaranya. Boleh jadi juga tidak.
Tapi mau karena Corona ataupun bukan, bukankah kita tetap harus bersiap untuk mati kapan saja?
Masih mending corona, Allah beri kesempatan pelaku maksiat untuk bertaubat. Saat tsunami 2004 lalu? Lagi duduk-duduk, tiba-tiba digulung gelombang. Alangkah beruntung mukmin yang rajin bertaubat meninggal dalam keadaan tanpa dosa saat itu. Semoga Allah wafatkan kita dalam kondisi demikian juga.
Soal hidup, mati, sehat, sakit, tidak ada yang bisa membuatnya hadir dan pergi tanpa izin Allah. Pun demikian pula dengan corona.
Saya memintanya untuk mengulang dalil dari sifat Qudrat. Dia menyebutkan QS Al Baqarah ayat 20:
إن الله على كلى شيئ قدير
Saya lantas balik bertanya padanya, “Kamu takut kena corona?”
Santri itu menggelengkan kepalanya.
Semoga kita senantiasa dalam perlindungan Allah swt.
Komentar
Posting Komentar