Pukul 01:06 dini hari. Tadinya mau nulis soal ribut-ribut demo Ahok 4 November besok, udah jalan satu paragraf, tapi suara tangis anak-anak di kamar sebelah bikin nggak konsen. Mungkin ada kejadian apa, pemukulan, histeria, jatuh, atau apalah, tapi makin lama suara tangisnya kok makin kencang saja.
Saya keluar kamar dan tinggalkan notebook yang masih dengan Microsoft Word terbuka. Selidik kiri kanan, rasanya asal suaranya dari lantai dua dekat kamar mandi. Setelah lihat ada anak kelas 6 di luar kamar, saya jadi mikir ada kejadian serius ini. Bukan lagi suara misteri seperti dulu. Suara nangis juga, jam 2 malam, malam Jumat saat itu. Saya cari kemana-mana suara nangisnya pindah-pindah terus. Dari kamar mandi asrama yang satu ke kamar mandi yang lainnya. sampai terakhir pindah ke atas loteng. Ya sudah, akhirnya saya biarkan saja. Mungkin yang nangisnya lagi perlu sendiri di situ.
Tiba di depan kamar, saya tanya sama yang di luar, "Ada apa?"
"Kayak kerasukan gitu ustadz. Nangis terus dari tadi. Udah panggil ustadz X juga barusan."
"Ooh." Jawab saya singkat. Gawat juga.
Dia di pojok kanan di atas ranjang. Yang nangis ini kata kawannya santri kelas 3. Badannya kaku, tanggannya nutupin muka pakai bantal. "Kakinya dingin ustadz." Sahut santri yang pegang kakinya. Tambah seram saja.
Saya sentuh kepalanya dengan tangan kanan, di dahinya, jempol saya mulai mengurut-urut tengah dahinya. Dalam hati sudah was-was. Kalau benar kerasukan kapalo. Sambil terus ngurut dahi, dalam hati terus membaca ayat-ayat ruqyah. Baru sebentar saya pegang, badannya melemas, bantal dilepaskan, dan tangisnya mereda.
"Wah hebat! Lemas sendiri." Kata santri yang di belakang saya. HAHA.
Saya terus mengurut dahinya sambil baca ayat ruqyah. Dia tiba-tiba bilang, "Takuuut. Takuutt"
"Takut sama apa?" Tanya saya.
"Takuuutt." Dia cuma bilang takut-takut saja. Bahasanya nggak jelas. Pengen bilang IYA, SAYA JUGA TAKUT!!! Tapi gengsi.
"Takut karena apa? Ada ustadz di sini. Nggak perlu takut. Coba ceritakan," Saya coba berdialog. Khawatirnya yang saya ajak dialog bukan dia pula. Akhirnya saya tanya namanya. "nama kamu siapa?" Tanya saya.
"xx xxx xx" Dia sebutkan namanya. Tapi betul-betul nggak jelas. Saya tanya ke teman-temannya dan Alhamdulillah mirip seperti yang dia sebutkan. Sadar ternyata.
Pelan-pelan saya ajak bicara, saya tanyakan ada masalah apa, sampai dia ceritakan semua masalahnya. Wah ternyata bukan hal mistis. HAHA lagi.
Si anak punya masalah mental yang sangat dahsyat. Jiwanya berontak dan nggak bisa lagi dikendalikan. Dia sangat takut pada 'satu hal' dan karena itu jiwanya terguncang sangat hebat. Saya lalu berdiskusi dengan abang-abangnya yang kelas 6 tentang hal itu, dan setenang mungkin saya sampaikan akan kami selesaikan masalahnya. Alhamdulillah, akhirnya dia pun tenang.
Latar belakang masalah santri di sini memang macam-macam. Luar biasa. Dari yang gara-gara maknya berantam sama ayahnya, bermasalah dengan abang-abangnya, teman-teman, sampai pada masalah ada yang ngencingi galon air kawannya dan parahnya sampai terminum pula. Dan itu biasa.
Tapi inilah serunya. Meskipun banyak masalah, tetapi masalah-masalah yang datang justru membuat saya bersyukur, karena saya belajar sangat banyak dari hal-hal tersebut. Terutama dalam hal mengelola hati dan problem solving.
Komentar
Posting Komentar